INFO TERBARU DI WEBSITE INI
Internasional Nasional
Ketika Hutan di Konawe Utara Tergerus Tambang Nikel [2]

Ketika Hutan di Konawe Utara Tergerus Tambang Nikel [2]

Pertambangan nikel datang dan mengubah landskap hutan menjadi hamparan tanah gundul nan gersang di sekitar kawasan konservasi Taman Wisata Alam Teluk Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra)

Punggung perbukitan di Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), dulu hijau menjorok jauh ke laut Banda, kini terlihat gersang. Bukit gundul. Hanya ada aktivitas pertambangan mengeruk tumpukan ore nikel keluar dari perut bumi lalu ditumpuk menggunung.

Akhir Januari merupakan masa peralihan dari badai El Nino, Laut Banda panas. Satu perahu bermesin Sideng, seorang nelayan perlahan muncul mendekat ke pesisir Desa Mandiodo.

Jauuh di sana saya pergi melaut, di sini sudah susah (dapat) ikan,” kata Sideng sambil menunjuk ke arah timur laut.

Sideng, disebut-sebut sebagai satu-satunya pewaris tradisi pembuat soppe (rumah perahu khas Suku Bajo) tersisa, yang sekarang menggantungkan hidup pada teknologi mesin untuk menangkap ikan.

Sesampainya di pantai yang terkontaminasi sedimen lumpur, anak perempuan dan cucu laki-laki lelaki tua itu gembira menyambut pemberian tangkapan ikan sang kakek.

Usai menambatkan perahu dan istirahat sesaat di dermaga kayu kecil, dia memicingkan mata sambil bersandar pada tiang kayu, menikmati tegukan air tersisa dalam botol plastik.

Suasana kampung pesisir di sini terbilang padat penduduk. Rata-rata setiap rumah tangga memiliki anak paling sedikit empat anak, rata-rata lebih 10 anak dengan jarak kelahiran dekat. Sideng, dikaruniai 14 anak,  tujuh meninggal,  tujuh lainnya hidup.

Baca : Perusahaan Tambang Nikel di Sulawesi Tenggara Kriminalisasi Warga Penolak Tambang

 

Nelayan Mandiodo, sulit dapat ikan lagi ketika laut sudah rusak karena limbah tambang nikel. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Radeng, anak laki-laki ketiga Sideng mengenang masa kecil nan indah menjalani hidup di soppe bersama saudara dan kedua orangtuanya di pesisir Mandiodo.

“Kalau di sini air (laut) dulu jernih, karang bersih. Sekarang sulit didapat karang tertimbun lumpur,” kata Radeng.

Mereka tak mengira kalau kehadiran tambang nikel perlahan mengeruk hutan sekitar.

Hutan terbabat tambang nikel menimbulkan dampak buruk sampai pesisir dan laut. Limbah ore nikel mengalir hingga laut sampai sungai tercemar. Masyarakat dulu hidup sejahtera dari tangkapan laut, berubah drastis menggantungkan hidup pada ketersediaan bahan bakar minyak (BBM) yang makin hari makin mahal. Makin hari,  kemiskinan mencekik kehidupan mereka.

Situasi itu kontras dengan persentase Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat terjadi penurunan penduduk miskin dari 14,32% pada 2021 jadi 13,48% pada 2023. Terlebih Presiden Joko Widodo (Jokowi) awal Maret mengklaim nilai ekspor nikel dari ‘hilirisasi’ nikel menembus hingga Rp500 triliun.

Jumasir, kawan melaut Sideng beralih jadi petugas keamanan di satu perusahaan tambang nikel. Dia cerita, kalau pada 2007 masih mudah peroleh ikan, tambang masuk berdampak pada laut.

“Puncak kerusakan tahun 2008 sampai 2009, mulai mi di situ berkurang ikan,” ucap Jumasir.

Dia hanya bisa mengeluh ketika tidak bisa turun melaut. “Satu kali lari (melaut) habiskan 10 liter bensin, total Rp150.000 . Kalau dapat (ikan), syukur. Kalau tidak dapat, yah setengah mati. Laut di sini kabur.”

Sedangkan Taman Wisata Alam (TWA) Teluk Lasolo yang menjadi tumpuan terdekat masyarakat pesisir lokal sebagai rumah ikan, juga tercemar sedimen lumpur pertambangan nikel.

Baca juga : “Bloody Nickel,” Potret Daya Rusak Industri Nikel

 

Peta perubahan lahan di Blok Mandiodo dari tahun 2019 sampai 2023

 

Kehancuran pesisir dan laut

Teluk Lasolo merupakan satu-satunya kawasan konservasi di Konut seluas 81,800 hektar. Pada 2014,  luas pesisir berkurang setelah Pulau Labengki dan Bahubulu turun status menjadi hutan lindung. Namun Surat Keputusan (SK) penurunan status itu belum terbit.

“Sementara proses, …karena kan di situ salah satu kawasan prioritas  wisata,” kata Nur Indah Hery Utami, Koordinator Kelompok Kerja Konservasi di Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Tenggara (BKSDA) Sultra.

BKSDA Sultra terakhir kali memonitoring dan mengidentifikasi terumbu karang di Teluk Lasolo pada 2016, termasuk biodiversitas lain seperti, penyu, kima, kepiting kenari, dan jenis-jenis ikan lain. Ketika itu kondisi terumbu karang yang ‘masih bagus’ hanya ditemukan di beberapa titik.

Sementara BKSDA Sultra hanya fokus pada pengembangan wisata di Taman Laut Teluk Lasolo pada lima tahun terakhir. Pada 2019-2023, sudah transplantasi karang di beberapa titik yang teridentifikasi dengan kondisi terumbu karang cenderung rusak.

BKSDA Sultra menggandeng perusahaan-perusahaan tambang lewat perjanjian kerjasama (PKS).

“Ini sudah menjadi item mereka untuk merehabilitasi kawasan…rehabilitasinya kan luas,” kata Utami.

PKS dapat mengembalikan kelestarian terumbu karang yang bisa jadi obyek wisata atau tempat ikan berlindung.

Satu persatu perusahaan tambang nikel yang tengah merintis PKS dengan BKSDA Sultra, katanya, yakni, PT Paramita, PT Daka, PT BSC, PT Manunggal. Semua perusahaan itu menambang nikel di sekitar Teluk Lasolo. Pengangkutan ore nikelnya gunakan kapal tongkang dengan jalur lintas khusus di sekitar Teluk Lasolo.

Tiga perusahaan tambang lainnya, PT Bumi Sentosa Jaya, PT Cinta Jaya, dan PT Aneka Tambang (Antam) terlebih dahulu transplantasi terumbu karang.

Idham Khalik, dari Satuan Kerja Eksternal Relation Corporate Social Responsibility (CSR) Antam, mengatakan, sudah menggandeng BKSDA dalam PKS untuk transpalantasi terumbu karang di gugusan perairan Pulau Labengki selama 2018,  berakhir 2023.

“Pertumbuhan terumbu karangnya belum masif, baru ikan-ikan kecil yang datang,” katanya.

Rencananya,  perusahaan pelat merah ini lanjut PKS pada 2024, di bawah kewenangan Antam Konawe Utara.

Baca juga : Ketika Hutan Lindung Sulawesi Tenggara Terbabat jadi Tambang Nikel

 

Hutan yang terbabat di Konawe Utara, jadi tambang nikel. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Ahoma rusak

Kisran Makati,  Koordinator Pusat Kajian dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham) Sultra, menuding beberapa perusahaan yang PKS dengan BKSDA Sultra, tidak bertanggung jawab.

“Mereka setelah merusak (hutan), tidak melakukan pemulihan,” katanya.

Puspaham sudah meneliti dampak pertambangan nikel di Kecamatan Molawe, Konut, akhir 2023-awal 2024 dengan  metode observasi  partisipatoris, wawancara, dan studi dokumen.

Penelitian itu terbit dalam laporan berjudul “Ahoma, Industri Ekstraktif dan Dampak Terhadap Warga Lingkar Tambang.”

Ahoma ini sebutan lokal terhadap hutan sumber penghidupan manusia. Isi laporan itu menyebut,  perusahaan-perusahaan tambang nikel yang menjalin PKS dengan BKSDA Sultra menimbulkan kerawanan longsor, seperti, tanah tambang menyumbat kali menyebabkan banjir. Begitu pun laut warna laut menjadi merah dan polusi debu sampai ke pemukiman.

Satu-satunya, fasilitas Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Desa Tapunggaya dalam kondisi memprihatinkan. Sekolah ini dikelilingi tumpukan ore nikel, suara tambang beroperasi sangat mengganggu aktivitas belajar siswa. Jalan umum pun jadi jalan produksi tambang.

Dampak eksploitasi tambang juga mengancam kelestarian keanekaragaman hayati. Dia contohkan, pada 2021, satu anoa (Bubalus sp), satwa endemik Sulawesi terjebak, jatuh ke lubang galian BKM di hutan Blok Mandiodo. Lalu. maleo (Macrocephalon) sudah tidak terlihat di habitatnya di pesisir Desa Tapuemea, populasi buaya di Sungai Lasolo berkurang karena aliran sungai keruh terkontaminasi lumpur pembuangan ekstraktif pertambangan nikel.

Buaya juga berpindah ke muara mendekati pemukiman pesisir hingga ke belakang rumah-rumah warga. Ada juga buaya menerkam nelayan ketika sedang memancing di dekat rumahnya.

Warga juga tidak menjumpai tumbuhan anggrek serat (Dendrobium utile) dan tumbuhan rotan di daerah tangkapan air (DTA) Sungai Lasolo.

 

Laut berwarna oranye terkena limbah tambang nikel. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Sementara di Pantai Molawe, Makati menggunakan penginderaan drone melihat sebagian besar pesisir di wilayah itu berwarna coklat.

Dari pengakuan warga kepada Makati–jika musim hujan, air laut dari pesisir pantai mulai berwarna coklat. Dulunya, pesisir itu zona tangkap nelayan, termasuk di Pesisir Morombo yang mengalami pencemaran sama, terkontaminasi sedimen lumpur pertambangan nikel.

“Intinya,  perusahaan-perusahaan itu banyak yang tidak bertanggung jawab,” katanya.

Perusahaan, katanya, jangan hanya fokus pada pelestarian area konsevasi laut di Teluk Lasolo, tetapi perlu pemulihan eksosistem darat. Dia bilang, reboisasi harus jadi prioritas dalam memulihkan ekosistem darat dan mengembalikan fungsi ekologis antara lain, jaga habitat flora dan fauna, pengendali erosi, dan mencegah tanah longsor yang mencemari sungai dan laut.

Puspaham mencatat,  pernah terjadi musibah tanah longsor dan erosi pada 2021, yang menghanyutkan satu rumah permanen ke laut.

“Reboisasi di eks penggalian tambang nikel di Blok Mandiodo sangat penting.”

Menurut dia, perusahaan-perusahaan bersangkutan jangan hanya fokus pada pelestarian kawasan konsevasi laut di Teluk Lasolo, perlu untuk pemulihan eksosistem darat.

Reboisasi harus prioritas memulihkan ekosistem darat dan mengembalikan fungsi ekologis antara lain, habitat bagi flora dan fauna, pengendali erosi, dan mencegah tanah longsor yang mencemari sungai dan laut.

Puspaham mencatat pernah terjadi musibah tanah longsor dan erosi pada 2021 yang menghanyutkan satu rumah permanen ke laut.

“Reboisasi di eks penggalian tambang nikel di Blok Mandiodo sangat penting,” ucap Makati.

Senada dikatakan Jefri, Ketua Persatuan Pemerhati Daerah Konawe Utara (P3D Konut) yang berkedudukan di sekitar konsesi Antam di Blok Mandiodo. Mereka intens memantau aktivitas pertambangan nikel.

Jefry meminta perusahaan-perusahaan yang terlibat penambangan ilegal bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang mereka tinggalkan.

Berita Mongabay sebelumnya menyebutkan, ada 39 perusahaan bergabung dan mengelola konsesi Antam. Namun, Antam baru mengelola 22 hektar lahan karena 157 hektar belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan. Nikel hasil penambangan di lahan ratusan hektar tersebutlah yang dikelola dan dijual ilegal.

“Perlu direobisasi…karena ada banyak  IUP menambang buta-buta meninggalkan hutan gundul di Desa Mandiodo dan sekitarnya,” kata Jefry.

 

 

Soppe, rumah perahu Orang Bajo, yang kini sulit cari bahan baku karena hutan tergerus. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

 

Hutan Mandiodo gundul juga berdampak terhadap punahnya tradisi pembuatan soppe, perahu khas Suku Bajo yang jadi rumah laut. Suku Bajo hidup berpindah-pindah di soppe dari satu pesisir ke pesisir lain, mengais tangkapan laut dengan perilaku arif jauh dari modernisasi.

“Kalau sekarang mahal mau buat satu soppe,” kata Sideng.

Selain mahal, bahan baku soppe dari satu kayu gelondongan sudah tidak ditemukan lagi, hutan primer sudah terbabat habis oleh pembukaan pertambangan nikel.

Soppe dibuat dari kayu bitti atau pohon gofasa (Vitex cofassus), flora identitas Gorontalo yang tumbuh tersebar alami di Sulawesi, Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Bismarck, dan Pulau Solomon. Pohon gofasa tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 2.000 mdpl.

Menghadapi berbagai persoalan itu, sebagian nelayan beralih menjadi buruh tambang nikel. Sideng tetap melaut. Dia merasa tak punya keahlian lain untuk menopang hidup di masa tua.

Sideng hanya bisa menghabiskan masa tua dengan mengemudi perahu berjam-jam menempuh perjalanan laut melintasi Teluk Lasolo sampai ke perairan Pulau Labengki, bahkan sampai ke laut lepas di tengah laut Banda.

“Kita mau bagaimana lagi kalau hutan dan laut sudah begini (rusak)?” kata Sideng. (bersambung)

 

Artikel ini didukung oleh Auriga Nusantara melalui Fellowship Pasopati

BERITA LAINYA

Wallacea Terminal
06 January 2025 - betahita.id Walhi Sulteng: 53 Tambang Nikel Keroyok Morowali, Banjir pun Jadi

Aktivitas pertambangan di pegunungan Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) dianggap sebagai biang terjadinya banjir lumpur yang sejak beberapa tahun belakangan.

Wallacea Terminal
10 May 2024 Nelayan Gebe di Tengah Kepungan Tambang

Hujan turun sejak sore, angin kencang menyapu pesisir Kapaleo, Kecamatan Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Sementara di laut tampak gelap, malam sudah turun, nelayan-nelayan yang lain telah menambatkan perahunya