Tingginya permintaan nikel global pada beberapa tahun terakhir berkorelasi dengan masifnya pembuangan limbah lumpur olahan pertambangan nikel ke laut, mengancam kepunahan kima boe, jenis kerang raksasa yang hanya ditemukan di laut Konawe Utara.
Siang itu matahari tidak terik dan tidak mendung, hanya ada awan cirrostratus memenuhi langit di akhir Januari. Plan papan putih bertuliskan “Giant Clam Conversation Kima Boe Spot Labengki” berdiri diatas rumput jepang seluas lapangan volly.
Di tengah halaman, beberapa pohon kelapa tumbuh sebaris. Halaman itu terkoneksi dengan rumah panggung kayu berwarna coklat gelap di atas laut, yang bagian depannya bangunannya bercorak gambar kacamata selam yang disekitarnya bertuliskan “Rumah Edukasi Kima” dan “Menata Laut Menata Masa Depan.”
Halaman dan bangunan itu mencuri perhatian mata siapa saja yang melintasi jalan kecil membelah pesisir Desa Toli-toli, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe, di pesisir timur laut Sulawesi Tenggara (Sultra).
Habib Nadjar Buduha menghabiskan sebagian besar usia paruh bayanya di bangunan itu. Tata ruangnya unik; hanya ada satu jembatan untuk mengakses pintu masuk yang mengakses teras kiri bangunan yang terdapat tumpukan berjajar rapi koleksi aneka cangkang kerang yang hidup di perairan Laut Banda.
Teras itu didesain dengan berpemandangan terbuka ke arah pesisir dan laut utara Sulawesi Tenggara, yang ramai aktivitas kapal-kapal besar pemuat logistik dan kapal-kapal tongkang pemuat ore nikel siap antar ke Industri Smelter Nikel.
Dapur yang terkoneksi dengan teras itu juga berpemandangan terbuka, yang setiap saat bisa memantau aktivitas hilir mudik perahu-perahu nelayan di perairan dangkal, yang di dasarnya tersebar ribuan ekor kima yang dia relokasi dari tempat asalnya dari perairan Kabupaten Konawe Utara yang kini dicemari sedimen lumpur dari maraknya aktivitas penambangan nikel sejak tahun 2016.
Katanya, air laut di sini dulunya jernih, tidak seperti sekarang dicemari lumpur.
Buduha merupakan seorang konservasionis yang lebih awal mengidentifikasi dampak penambangan nikel yang masif dalam bencana ekologi pesisir laut di Konawe Utara, Sultra, jauh sebelum pemerintah menetapkan program hilirisasi nikel seperti yang dikampanyekan kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Sebenarnya bagaimana kita menyelamatkan alam, karena di Indonesia belum ada konservasi kima,” ucapnya.
Baca : Taman Kima dan Konservasi Berkelanjutan di Gorontalo
Laut Tercemar, Kima Menghilang
Pada Oktober 2009, Buduha meninggalkan pekerjaannya sebagai jurnalis di salah satu majalah perbankan berkantor di Jakarta. Dia pulang kampung untuk memenuhi panggilan merawat ibunya yang sakit di usia tua.
Pesisir kampung di halamannya yang dulunya bertebaran terumbu karang, menjadi sumber tangkapan ikan utama nelayan setempat, telah habis. Laut berubah warna, tidak jernih
“Sebelum saya datang, ada 10 bom ikan dalam sehari. Dang..dong..dang..dong. Bom itu kayak pagelaran siang malam,” ucapnya dengan nada kesal.
Dia juga tidak menemukan kima. Banyak nelayan yang mengambil kima untuk dikonsumsi. Kima merupakan spesies kunci di ekosistem terumbu karang karena memiliki peran ekologis penting menjamin kelangsungan hidup ekosistem laut. Satu ekor kima berperan sebagai penyaring atau rehabilitator puluhan ton liter laut yang menjernihkan air laut dari bermacam-macam cemaran. Laut yang sehat memicu pertumbuhan karang.
Tanpa pikir panjang Buduha berinisiatif berlayar sampai ke perairan Banggai di Sulawesi Tengah (Sulteng) selama satu bulan. Di sepanjang rute dikumpulkan aneka jenis dan ukuran kima. Totalnya 50 ekor. Kemudian direlokasi ke perairan dangkal sekitar Desa Toli-toli. Dalam benaknya, mengembalikan keberadaan kima menjadi langkah awal untuk memperbaiki kualitas air laut, kunci utama memulai langkah konservasi laut yang telah rusak.
“Ada yang bisa direlokasi dan ada yang tidak bisa direlokasi, karena hidup dalam batu, bisa merusak ekosistem” ucapnya.
Kima Jenis Baru
Dalam kurun tiga tahun, Buduha dan kawan-kawan telah melakukan 160 relokasi dengan mengumpulkan 8.000 kima dalam satu kawasan di pesisir kampung halamannya. Selama itu, dia penasaran dan ‘berselancar’ di internet mencari tahu informasi aneka jenis dan ukuran kima yang dijumpainya. Hasilnya, tidak ada data tentang kima di Indonesia. Tidak ada peneliti dan konservasi kima di Indonesia. Ternyata hanya negara tetangga Filipina dan Australia yang fokus pada konservasi kima.
Pada tahun 2010, dia mengkomunikasikan jenis-jenis kima temuannya ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang ketika itu belum berganti nama menjadi Badan Riset Nasional (BRIN). Tetapi tidak mendapat respon.
Baca juga : Melongok Budidaya Kima dan Kehidupan Nelayan di Pesisir Desa Tembok
Buduha tidak putus asa, setahun kemudian dia membangun komunikasi ke School of Biological Sciences, University of Queensland, Australia. Dia direspon dan selama tiga tahun dibimbing jarak jauh untuk mengidentifikasi jenis-jenis kima temuannya oleh Profesor John Lucas, yang juga penemu beberapa spesies kima lainnya, diantaranya Tridacna tevoroa di Kepulauan Fiji dan Tonga di Samudra Pasifik.
“Saya dimentori mulai cara mengambil sampel, pisau untuk mengambil daging untuk diperiksa DNA-nya. Pisau itu dikirim dari Australia,” katanya. Keunikan spesial dari hasil identifikasi itu, ditemukan satu jenis kima baru yang diberi nama kima boe (Tridacna kimaboe), yang katanya, “Hanya ada di sini, tidak ada di tempat lain.” Sementara, “Kalau di sini (Laut Banda), semua spesies kima ada, kecuali Tridacna tevoroa,” ungkapnya.
Profesor John Lucas dalam abstraksi ilmiahnya di tahun 2013 yang berjudul Tridacna kimaboe sp. nov.: the ‘watery giant clam (Family Tridacnidae) from Sulawesi Indonesia, menjelaskan bahwa kima boe dideskripsikan sebagai ‘spesies baru’ yang hidupnya berasosiasi dengan terumbu karang, terdapat di sekitar Pulau Labengki, Sulawesi Tenggara, Indonesia.
Kima boe diperkirakan merupakan spesies kerang raksasa terbesar kedua di dunia, dengan rata-rata panjang cangkang maksimum 55,5 cm. Kima boe merupakan jenis baru yang tidak biasa ini mungkin sangat langka dan muncul di wilayah yang tidak masuk ke dalam daftar CITES serta tidak ada perlindungan bagi masyarakat pesisir. Sementara semua karang raksasa masuk dalam daftar CITES.
Lucas menutup abstraksinya dengan menulis, “Ada kebutuhan mendesak untuk melestarikan spesies ini di daerah ‘larang tangkap’ yang sesuai, di mana spesies ini ditemukan. Selain langkah-langkah resmi, sangat penting untuk mendapatkan kerja sama dari masyarakat pesisir untuk langkah-langkah ini.”
Dari total 12 jenis kima di dunia, sebanyak delapan jenis ditemukan di Indonesia. Dan kima boe menambah koleksi kima menjadi sembilan jenis di Indonesia.
Landasan ilmiah itu dijadikan dasar Buduha memperjuangkan kelestarian kima boe yang menjadi cikal bakal diusulkan dan ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Kima melalui Peraturan Daerah (Perda) Pemerintah Provinsi Sultra Nomor 9 di tahun 2018.
Dari SK itu, menyusul disetujui usulan lima desa yang tersebar di dua kecamatan setempat: Lalonggasumeeto dan Soropia sebagai penerima manfaat keberadaan konservasi kima. Pada masyarakat nelayan di lima desa itu dibentuk kelompok-kelompok dan difasilitasi bantuan untuk bersama-sama mengawasi area konservasi kima.
Baca juga : Kima dan Potensi Laut Bangka yang Harus Dijaga
Menurut Kepala Seksi Wilayah II BKSDA Sultra, Prianto, terbitnya perda penetapan Kawasan Konservasi Kima dapat menjamin usaha masyarakat setempat melestarikan hewan yang dilindungi dan menjaga lautnya. BKSDA Sultra menilai bahwa isi perda itu sejalan dengan undang-undang konservasi yang mengatur tentang apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak diperbolehkan.
“Akan sangat bagus kalau masyarakat didukung untuk melakukan kegiatan-kegiatan konservasi,” kata Prianto.
Meski demikian, aktivitas pencurian kima tetap berlangsung, yang kini menyisakan 1.000 kima. “Terkendala di pengawasan. Jam dua subuh mereka datang menyelam (mencuri). Masih ada aktivitas pemboman paling sekali tiga bulan,” kata Buduha.
Terancam punah
Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS) melakukan riset dampak ekonomi dan kesehatan dari industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara, yang diterbitkan pada pertengahan Februari 2024 bertajuk Membantah Mitos Nilai Tambah, Menilik Ulang Industri Hilirisasi Nikel.
Dikutip dari laporan itu, ”Nikel, khususnya, telah menjadi sorotan dalam beberapa tahun terakhir karena pertumbuhan volume ekspor yang tajam. Permintaan global terhadap nikel telah meningkat secara signifikan dalam lima tahun terakhir dengan pertumbuhan tahunan sekitar 10%, dari 2,44 juta ton pada tahun 2019 menjadi 3,61 juta ton pada tahun 2023 (Statista, 2022). Sejalan dengan pertumbuhan ini, Indonesia terus meningkatkan produksi nikel tahunan nasional dari 0,2 juta ton pada tahun 2016 menjadi 0,76 juta ton pada tahun 2020, setara dengan 30% volume produksi global (MEMR, 2021).”
Buduha dan timnya telah melakukan penyelaman di sejumlah titik selama tahun 2018 sampai 2019. Mereka merekam dampak pertambangan nikel di Pesisir Mandiodo dan Pesisir Morombo yang masif terhadap kerusakan terumbu karang habitat kima boe di perairan Konawe Utara.
Di bagian barat Pulau Labengki menyisakan 80% terumbu karang dan sisanya ditemukan di bagian utara Pulau Bahubulu. Limbah cemaran lumpur yang terbuang ke laut terbawa arus sejauh 3,7 mil laut (7 km), menjangkau zona dengan terumbu karang terbanyak pada sepertiga timur barat selatan Pulau Bahubulu.
“Karangnya tamat, selesai sudah,” ujarnya.
Belum lagi dengan terbitnya Permenhut di tahun 2018 yang menetapkan dua spesies kima: Kima tapak kuda (Hippopus hippopus), Kima cinta (Hippopus porcellanus) yang dilindungi, menggugurkan Permenhut tahun 1999 yang telah memasukan semua jenis kima sebagai satwa dilindungi dengan status appendix II oleh IUCN.
“Yang paling sial, itu!” tukasnya.
Katanya, kima berperan penting untuk mendatangkan ikan di suatu perairan, seperti di sekitar Pulau Labengki, Pulau Bahubulu dan sekitarnya. “Dalam satu kali reproduksi, kima melepas 100 juta telur. Dari jumlah itu, sekitar 90 juta telor menjadi santapan ikan,” ungkapnya, dengan asumsi sebaran satu ekor per lima meter.
“Kima boe tidak begitu banyak, semua terancam punah,” pungkas Buduha. (selesai)
Artikel ini didukung oleh Auriga Nusantara melalui Fellowship Pasopati
Benteng Oranje, Kota Ternate, telah merekam jejak penderitaan masyakarat Maluku Utara ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Maluku Utara untuk menguasai rempah
Kapal kayu berukuran 4 gross ton (GT) teronggok sekitar 100 meter dari garis pantai Desa Lelilef Weibulen, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara.