DAS Lasolo adalah kawasan penting yang memiliki fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi bagi masyarakat sekitarnya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kawasan ini mengalami tekanan akibat ekspansi industri pertambangan dan perkebunan skala besar.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Lasolo, yang terletak di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, merupakan salah satu ekosistem penting dengan panjang sekitar 126 km dan luas keseluruhan mencapai 600.191,03 hektar. Sekitar 70% dari wilayah ini terdiri dari lahan yang curam dan hutan, yang berfungsi vital dalam menyerap air hujan. Namun, kondisi DAS Lasolo saat ini tengah menghadapi tekanan serius akibat konversi lahan untuk pertambangan dan perkebunan sawit. Perubahan penggunaan lahan ini mengakibatkan deforestasi yang signifikan, mengurangi tutupan hutan yang seharusnya berperan dalam mengendalikan limpasan air. Akibatnya, risiko bencana banjir meningkat, dengan catatan sepuluh kejadian banjir dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk banjir parah pada tahun 2019 yang merusak luas dan mempengaruhi ribuan penduduk.
Ekspansi pertambangan dan perkebunan sawit di Konawe Utara tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga membawa dampak sosial ekonomi yang mendalam. Deforestasi menyebabkan peningkatan sedimentasi di sungai-sungai dalam DAS Lasolo, yang berpotensi memperburuk kualitas air dan mengganggu ekosistem perairan. Selain itu, banjir yang sering terjadi merusak infrastruktur lokal, termasuk rumah dan fasilitas umum, serta mengisolasi desa-desa tertentu, menyulitkan akses bantuan bagi masyarakat yang terkena dampak. Banyak penduduk terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat bencana ini, meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut karena hilangnya tempat tinggal dan sumber penghidupan. Oleh karena itu, diperlukan upaya mitigasi yang lebih baik untuk mengelola penggunaan lahan secara berkelanjutan dan melindungi ekosistem DAS Lasolo agar dapat mengurangi risiko bencana banjir serta melindungi masyarakat lokal dari dampak negatif perubahan lingkungan ini.
Laju deforestasi di Kabupaten Morowali disinyalir dipicu adanya aktivitas pertambangan dan pembukaan lahan perkebunan sawit. Perkebunan sawit yang masuk pada pertengahan 1980an di Kecamatan Witaponda, Bungku Barat dan Petasia.
Kawasan sekitar Teluk Buli terdapat aktivitas pertambangan dan terdapat dermaga sebagai sarana pendukung aktivitas pertambangan tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut secara langsung akan memengaruhi ekosistem Teluk Buli.