Indonesia dikenal sebagai pusat Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle) yang menyimpan lebih dari 70 persen spesies karang dunia dan menyimpan lebih dari 70 persen spesies karang dunia dan menjadi rumah bagi delapan juta spesies laut
Dahulu, Halmahera memiliki laut yang jernih, karangnya utuh, dan ikan-ikan berenang bebas seperti tak kenal takut pada manusia. Pemandangan yang menghipnotis—warna-warni karang menyala di bawah cahaya matahari yang menembus permukaan. Rasanya seperti menyelam di tengah kota bawah laut yang sibuk tapi harmonis. Namun sekarang bayangan itu semakin memudar.
Indonesia dikenal sebagai pusat Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle) yang membentang dari Filipina, Papua Nugini, hingga ke ujung timur Indonesia dan negara-negara Pasifik. Wilayah ini menyimpan lebih dari 70 persen spesies karang dunia dan menjadi rumah bagi delapan juta spesies laut. Tapi keistimewaan ekologis ini tengah berada di tepi kehancuran. Bukan karena badai, bukan semata karena pemanasan global, melainkan oleh derap tambang nikel yang kian liar menyusup ke pulau-pulau kecil dan pesisir kita.
Demi memenuhi ambisi menjadi pemain global dalam industri baterai kendaraan listrik, pemerintah Indonesia mempercepat hilirisasi nikel. Smelter-smelter menjamur di Kepulauan Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, hingga ke Sulawesi Tengah. Demi menghidupkan mesin-mesin besar itu, bukan hanya nikel yang dikorbankan, tapi juga batu gamping, pasir, dan—tanpa sadar—terumbu karang.
Banggai Kepulauan adalah salah satu contoh nyata. Wilayah yang sebagian besar daratannya terdiri atas gamping dan karst kini telah dibebani dengan 46 izin usaha pertambangan (IUP)—hanya dalam kurun waktu empat tahun terakhir. Bahkan sebelum satu pun tambang mulai beroperasi penuh, 30 persen terumbu karang di wilayah itu sudah mati. Ini baru awal dari bencana yang lebih besar.
Di tengah gonjang-ganjing jelang Pemilu 2024, berbagai instrument kebijakan pro-invefsetasi terus dirajut. Seolah banal dari teriakan ribuan rakyar terusir, umbar lapak beralas kuasa terus berjalan di sektor sumber daya alam.
Dikeluarkannya produk kebijakan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres) di berbagai sektor kebijakan, terutama di sektor tata kelola sumber daya alam, dinilai tanpa dasar kebijakan yang memadai